Thursday, May 27, 2010

Dakwah Kepada Atheis (3)

3. Tanda-Tanda Yang Dapat Ditangkap Dengan Panca Indra
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan wujud Allah dan rububiyah-Nya bahwa Allahlah yang paling berhak untuk disembah adalah dalil-dalil yang dapat didengar dan dilihat oleh panca indra. Dan dalil ini ada dua macam:
a. Terkabulnya doa di setiap waktu
Tak dapat terhitung berapakah hamba Allah yang dikabulkan doanya. Berapa banyak yang meminta kepada-Nya dan Allah pun mengangkat darinya musibah tersebut. Ini semua merupakan tanda-tanda nyata serta tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang sombong.
Berapa banyak orang-orang mukmin yang kelaur dengan hati taubat dan meminta kepada Rabb mereka agar menurunkan hujan. Kemudian datang awan kelam disertai mendung yang menaungi desa atau kota di mana mereka orang-orang berdoa di sana dan turunlah hujan. Padahal desa disekitarnya tidak terkena hujan sedikitpun. Berapa banyak pula orang-orang yang terdesak mendapatkan jalan keluar dari masalah mereka. Dan seringkali permintaan tersebut terkabul dengan segera. Allah berfirman:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
"Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)." (An Naml: 62)
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya: "Allah mengingatkan bahwa Dialah yang diseru ketika manusia memiliki kebutuhan yang sangat. Tidak ada seorangpun yang menemui kesusahan kecuali pasti kepada-Nya mereka berdoa."
Hal ini disaksikan oleh jutaan kaum muslimin dan jutaan manusia lainnya di belahan bumi timur dan barat.
Siapakah yang mendengar doa yang meminta pertolongan kemudian mendatangkan pertolongan dan menurunkan hujan? Apakah dia berhala yang tidak dapat melakukan apapun?
Sebenarnya semua ini menjadi bukti yang dapat dicerna oleh pikiran manusia, bahwasanya mereka mempunyai Rabb, yang mengatur mereka, mendengar, melihat dan mengijabahi doa mereka. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Anas bahwa ada seorang memasuki masjid pada hari Jum'at dari pintu yang menghadap Darul Qadla' (rumah 'Umar bin Al Khaththab). Saat itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berdiri menyampaikan khutbah, orang itu lalu berdiri menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Rasulullah, harta benda telah habis dan jalan-jalan terputus. Maka mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan buat kami!" Anas bin Malik berkata, "Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: "Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan." Anas bin Malik melanjutkan, "Demi Allah, sebelum itu kami tidak melihat sedikitpun awan baik yang tebal maupun yang tipis. Juga tidak ada antara tempat kami dan bukit itu rumah atau bangunan satupun. Tiba-tiba dari bukit itu tampaklah awan bagaikan perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan itupun menyebar lalu turunlah hujan." Anas bin Malik berkata, "Demi Allah, sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian pada Jum'at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk kembali dari pintu yang sama sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang beridiri menyampaikan khutbahnya. Orang itu lalu berdiri menghadap beliau seraya berkata, "Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan pun terputus. Maka mintalah kepada Allah agar menahan hujan dari kami!" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: "Ya Allah turunkanlah hujan di sekitar kami saja dan jangan membahayakan kami. Ya Allah turunkanlah di atas bukit-bukit, dataran tinggi, jurang-jurang yang dalam serta pada tempat-tempat tumbuhnya pepohonan." Anas bin Malik berkata, "Maka hujan pun berhenti. Lalu kami keluar berjalan-jalan di bawah sinar matahari."
Hadits ini merupakan satu ayat dari ayat-ayat Allah yang menunjukkan akan keberadaan-Nya, Dialah yang maha Kuasa atas segala sesuatu, dan hal seperti ini sering terjadi dikalangan manusia.
Tentunya setiap orang yang menyaksikan semua hakekat ini akan terusik akalnya dan mengakui bahwa ada Rabb Yang Maha Kuasa Maha Melihat Maha Mendengar Maha mengkabulkan do’a.
b. Mukjizat
Ini merupakan tanda terbesar yang menunjukkan adanya yang mengutus para Rasul. Sebab hal ini merupakan perkara yang di luar kemampuan manusia. Allah memberikannya sebagai penguat para rasul-Nya dan untuk melindungi mereka.
Sebagai contoh adalah Mukjizat nabi Musa as. Ketika Allah memerintahkannya untuk memukul laut dengan tongkatnya. Maka diapun memukulnya dan seketika laut terbelah menjadi dua dan airnya menjulang tinggi bak gunung. Kaum nabi Musa pun dapat melewati laut tersebut dan menyelamatkan diri dari kejaran Fir'aun dan bala tentaranya. Allah berfirman:
فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
"Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar."
(Asy Syu'aro: 63)
Mukjizat nabi Isa yang dapat menghidupkan mayat dan mengeluarkannya dari kubur mereka dengan izin Allah, menciptakan burung dari tanah serta menyembuhkan orang buta.
وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي
“Dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku”(Al Maidah: 110)
Mukjizat nabi Muhammad  yang dapat membelah bulan. Yakni ketika orang-orang quraisy meminta tanda kebenaran kepada beliau. Maka Rasulullah  pun menunjuk ke bulan dan terbelahlah menjadi dua. Mereka semua melihat kejadian tersebut dengan nyata.
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ(1) وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ(2)
“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus menerus".(Al Qomar: 1-2)
Tanda-tanda tersebut merupakan tanda paling nyata yang menunjukkan keberadaan Allah
4. Dalil Syar'iyah
Jalan menuju hidayah adalah dengan mengikuti apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Yakni mengumpulkan dan menggabungkan antara dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli inilah petunjuk yang paling berpengaruh dalam menunjuki manusia kepada ma'rifatullah dan beriman kepada-Nya. Serta mendorong yang diberi petunjuk untuk beramal guna mensucikan diri serta membawa kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbeda dengan dalil aqliyah. Walaupun dapat mengeluarkan seseorang dari kebimbangan dan kebingungan fikiran. Namun tidak dapat membersihkan jiwa, tak dapat meluruskan akhlak, serta tak dapat mengeluarkan seseorang dari kekafiran hingga dia beriman dengan dalil-dalil syar'iyah dan beramal dengan konsekuensinya.
Dan semua kitab samawiyah berbicara bahwa Allah Pencipta segala sesuatu. Dan hanya Dialah yang berhak untuk diibadahi. Serta hukum-hukum yang mengandung maslahat untuk kehidupan manusia menunjukkan Dialah Rabb Hakim yang mengetahui semua maslahat hambanya. Semua pengkabaran tentang alam semesta menunjukkan kebenaran-Nya dan menunjukkan bahwa dialah Rabb yang berkuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang Dia kabarkan.
Secara ringkas dalil syar'iyah menetapkan wujud Allah. Dialah Rabb segala sesuatu, pemiliknya, dan pengatur segala sesuatu di dalamnya. Maka selayaknya ibadah diperuntukkan baginya.

Adapun cara yang digunakan oleh dalil syar'I dalam menetapkan hal itu ada dua:
1. Kabar Allah yang benar, yaitu apa yang dikabarkan oleh Allah, dan apa yang dikabrakan oleh Rasul-Nya semuanya adalah benar. Dan tidak ada diatara kabar-kabar tersebut yang bersifat berntentangan dengan dalil aqly dan sam’I, karena sesungguhnya yang ditetapkan oleh pendengaran yang sehat tidak bertentangan dengan akal yang sehat, begitu juga akal yang sehat pasti sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah , akan tetapi apa yang bertentangan dengan akal maka itu semua bukanlah dalil yang benar.
2. Dalil-dalil al-Qur’an dengan memberikan permisalan, karena sesungguhnya dalil-dalil aqli menetapkan akan tuntutan ini, maka yang demikian ini dinamakan dalil syariyyah aqliyyah, dikatakan dalil syar’i, karena syariat telah menetapkannya, dan disebut dalil aqli karena secara akal sehat pasti mempercayainya, sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ(22)
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqorah:21,22)
Adapun dalil syar’I yang menunjukkan akan wujud Allah, Dia lah Rabb yang mengatur segalanya, dan hanya Dia lah yang berhak diibadahi, tidak ada selain-Nya ada dua cara:
a. Allah mengajak penglihatan dan hati untuk memikirkan segala ciptaan
Allah menjelaskan dalam kitab-Nya ayat-ayat kauniyah yang menunjukkan wujud-Nya, kesempurnaan kekuasaan-Nya, keagungan pengaturan di dalamnya, kedetailan ciptaan-Nya. Di antaranya penciptaan manusia, hewan, tumbuhan, angin yang berhembus, pergantian malam dan siang serta ayat-ayat lain yang menunjukkan keagungan Sang Pencipta. Allab berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي في الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164(
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (Al Baqoroh: 164)

b. Mukjizat para nabi
Allah menguatkan rasul-Nya dengan mukjizat yang di luar kemampuan akal. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebenaran nubuwatnya, serta menetapkan kerosulannya. Apabila nubuwat atau kenabian seorang rasul telah tetap maka hal itu menunjukkan kebenaran sang pengutus. Sebab pembenaran terhadap utusan menuntut konsekuensi pembenaran terhadap adanya yang mengutus.

Khotimah
Bagaimanapun orang-orang atheis berhak mendapatkan dakwah kita. Bagaimanapun keadaan mereka bukan berarti menjadikan kita berpaling dan tidak berdakwah kepada mereka. Inilah jalan yang dipahami oleh para shalafush shaleh. Begitu juga datang ayat-ayat dan hadits yang menunjukkan tentang metode dakwah kepada mereka. Maka selayaknya bagi setiap dai untuk mempelajarinya sehingga amanah yang dia emban dapat terlaksana dengan semestinya.

Dakwah Kepada Atheis (2)

Setelah mengetahui bagaimana kedudukan mereka, tentu dalam menyeru mereka memerlukan metode tersendiri. Dibutuhkan seni dalam berdakwah kepada mereka. Setidaknya ada beberapa metode yang dapat digunakan.
1. Dalil Fitriyah
Fitroh adalah keadaan awal manusia diciptakan. Rasulullah  bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تَنْتَجُ الْبَهِيْمَةَ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا جَدْعَاءَ؟
"Tidaklah setiap anak yang terlahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitroh. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Apakah kalian mendapatkan dia cacat?”
Hikmah berdakwah kepada mereka adalah seorang dai menggunakan dalil-dalil fitriyah. Dia menjelaskan bahwa setiap anak yang terlahir dalam bentuk apapun siap menerima agama, apabila dibiarkan begitu saja maka dia akan condong terhadap apa yang disukai. Dan setiap anak terlahir dengan mengetahui Allah  dan menetapkan-Nya sebagai Rabb yang berhak disembah. Bahkan jika seseorang dibiarkan dalam keadaan fitrahnya niscaya dia akan tetap mengakui bahwa setiap yang ada ini, semuanya pasti ada yang menciptakan.
Maksud fitroh adalah fitroh Islam dan selamat dari keyakinan-keyakinan batil serta menerima aqidah shohihah. Sesungguhnya hakekat Islam adalah berserah diri hanya kepada Allah semata.
Rasulullah  menjelaskan bahwa selamatnya hati dari cacat layaknya selamatnya badan dari aib. Sedangkan cacat merupakan perkara yang baru –dalam artian setelah dia dilahirkan-. Rasulullah  bersabda:
إِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ كُلُّهُمْ وَ إِنَّهُمْ أَتْتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وِ حَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَ أَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِيْ مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانَا
"Sesungguhnya Aku menciptakan hambaku dalam keadaan lurus. Kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan dari agama mereka. (Setan tersebut) mengharamkan apa yang telah Aku halalkan bagi mereka dan memerintahkan untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ku beri kekuasaan."
Imam nawawi mensyarh hadits ini:” Manusia diciptakan dalam keadaan fitroh yakni muslim. Ada yang mengatakan mereka suci dari maksiat. Pendapat lain bahwa mereka lurus dan mau menerima hidayah. Namun syaithon menggelincirkan mereka dan menghalangi mereka dari agama mereka.
Ibnu Taimiyah memberikan permisalan dalam masalah fitrah dengan mengatakan: "Permisalan fitroh dengan kebenaran seperti mata dengan matahari. Maka setiap yang memiliki mata, apabila tidak dihalangi dengan hijab tentu dapat melihat matahari. Sedangkan keyakinan batil seperti yahudi, nasrani, dan majusi seperti hijab (penghalang) yang menghalangi mata untuk melihat matahari. Begitu juga setiap yang memiliki panca indra yang sehat suka terhadap rasa manis. Kecuali apabila terdapat kerusakan dalam jaringannya sehingga mengubah rasa manis terasa pahit.
Bukan berarti ketika dia terlahir dalam keadaan mengenal Islam dan meyakini Islam dengan amalannya. Sebab Allah berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (An Nahl: 78)
Akan tetapi maksudnya adalah fitrohnya untuk mengetahui Islam dan mau menerima kebenaran serta menetapkan Rububiyatullah. Apabila dia tidak diajari selain Islam tentu dia akan menjadikan Islam sebagai agamanya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلَّا وَهُوَ عَلَى الْمِلَّةِ حَتَّى يُبَيِّنَ عَنْهُ لِسَانُهُ
“tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali dalam keadaan di atas millah (Islam), hingga dia mengucapkannya dengan lisannya.”
Allah telah mengabarkan bahwa dia mengeluarkan keturunan bani Adam dari tulang sulbi mereka dalam keadaan sebagai saksi terhadap diri mereka bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Al A'rof: 172)
Sebagai bukti dari ini semua adalah seseorang yang mempunyai akal sehat tentunya dia sangat membutuhkan kepada sang Pencipta dalam hal keberlangsungan hidupnya. Mereka sangat membutuhkan kepada Penciptanya dalam hal rizkinya, dalam hal menghilangkan dari mara bahaya yang akan menimpanya. Contohnya saja ketika seseorang ditimpa akan bahaya, pasti dia menyerahkan semuanya hanya kepada Allah, karena mereka yakin bahwa bahaya itu tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi ada yang mendatangkannya dan pasti ada juga yang menghilangkannya, yaitu Allah  yang Maha Menciptakan, yang Maha Hidup, Mengetahui segala sesuatu dan yang berkuasa untuk mengatur segalanya.
Dengan demikian jika seseorang itu lalai terhadap fitrah ini ketika dalam keadaan senang akan tetapi pasti dia tetap akan meminta perlindungan kepada Allah ketika dalam keadaan bahaya, karena mereka juga mengeahui secara fitrah bahwa Allah lah yang dapat menghilangkan mara bahaya, dan tidak ada tempat bergantung dan meminta pertolongan kecuali hanya kepada Allah saja. Karena pada dasarnya setiap makhluk diciptakan dalam tabiat yang mengakui terhadap rububiyyah Allah dan wahdaniyyah-Nya.

2. Dengan Dalil-Dalil aqliyah
Apabila orang-orang atheis, komunis, dan yang lainnya mengingkari wujud Allah  maka metode dakwah kepada mereka dapat menggunakan metode dalil-dalil aqliyah sebagai berikut:
a. Pembagian Akal Dengan Bijaksana
b. Yang Tidak Ada Tak Dapat Mencipta
c. Sesuatu Yang Tidak Mempunyai Tidak Memberi
d. Tiada Kata Kebetulan
e. Berdebat dengan mereka
f. Hukum Klausal (Sebab-Akibat)
g. Ciptaan Menunjukkan Sebagian Sifat Sang Pencipta

 Pembagian Akal Dengan Bijaksana
Bisa di tarik kesimpulan bahwa setiap orang yang mengingkari keberadaan Allah  dan Rububiyah-Nya terhadap perkara-perkara yang dia akui atau kalau tidak begitu berarti dia dalam keadaan gila, maka hendaknya disampaikan kepada mereka akan suatu perkara yang hanya bisa dibagi tiga dan tidak ada yang keempatnya:
Pertama: sesungguhnya setiap mahluk ini ada dengan sendirinya secara tiba-tiba, tidak ada yang menciptakannya. Maka hal ini adalah perkara yang sangat mustahil dan setiap akal akan menolak pernyataan ini. siapa yang berperasangka seperti itu maka dia adalah orang yang akalnya gila, dikarenakan setiap yang berakal akan mengetahui bahwa suatu benda itu tidak akan ada kalau tidak ada yang menciptakan, maka setiap barang yang ada itu harus ada yang menciptakan, hal ini tidak bisa diinkari.
Kedua: setiap makhluk itu ada karena dia sendiri yang menciptakan diri mereka, hal ini juga sangat mustahil, tidak bisa diterima oleh akal sehat, karena setiap orang yang berakal itu pasti meyakini bahwa makhluk itu tidak bisa menciptakan diri mereka dengan sendirinya, karena sebelum benda itu ada, dia tidak berbentuk apa-apa , maka bagaimana dia bisa menciptakan diri mereka sendiri.
Maka jika dua bagian diatas tidak bisa diterima secara akal sehat dan fitrah manusia maka pasti akan menerima yang ketika:
Ketiga: semua mahluk yang ada ini baik dari golongan bawahan maupun golongan konglomerat, ini semua adalah sebuah kejadian yang pasti ada yang membikinnya, pasti ada yang menciptaka,yang mengatur dan yang mengurusi, Dialah Allah  yang menciptakan segalanya, yang mengaturnya dan yang memberi rizki kepada semuanya. Sebagaimana Allah telah berfirman:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Artinya: Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?
Sebagaimana Jubair bin Mut’im sangat terkesan ketika dia mendengar ayat ini dari Rasulallah . Dia berkata, “aku mendengar Rasulallah  menbaca surat ath-Thur ketika sholat magrib, dan ketika sampai pada ayat:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بَل لا يُوقِنُونَ أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُسَيْطِرُونَ
Seakan-akan hatiku mau terbang”
Jadi setiap makhluk pasti ada yang menciptakan, dan perbuatan pasti ada yang mengerjakannya. Dan ini adalah keputusan final yang tidak perlu penjelasan lagi, semua akal sehat pasti mengetahui akan hal ini , maka barang siapa yang ragu dalam permasalahan ini maka sangat jelas akan kesesatannya
 Yang Tidak Ada Tak Dapat Menciptakan
Kaidah aqliyah yang selayaknya digunakan oleh dai adalah “Yang tidak ada tidak dapat menciptakan”. Maka sesuatu ang tidak ada wujudnya tidak dapat mencipta sesuatu apapun karena tiada ada wujudnya.
Apabila seseorang yang berakal memperhatikan makhluk-makhluk yang melahirkan dari kalangan manusia, hewan yang beranak, angin bertiup, hujan turun, gemuruh suara halilintar, pergantian malam dan siang, peredaran matahari, bulan, bintang yang begitu teraturnya. Apabila dia memperhatikan ini semua tentu akalnya akan berkata bahwa ini semua bukan ciptaan dari yang tidak ada. Namun ini diciptakan oleh sang pencipta dari yang maujud (yang ada).
 Sesuatu Yang Tidak Mempunyai Tidak Memberi
Merupakan hal maklum (yang telah diketahui) bahwa yang tidak memiliki harta tidak akan dimintai sesuatu. Orang yang bodoh tidak akan bisa memberikan ilmu. Sebab yang tidak mempunyai sesuatu tidak akan memberi.
Apabila mereka menyangka bahwa materi inilah yang menciptakan, sungguh menyelisihi akal dan kebenaran. Sebab alam ini menyaksikan bahwa penciptanya adalah yang maha bijaksana, maha mengetahui, yang memberi rizki. Sedangkan materi adalah tidak memiliki sesuatupun.
Yang sangat mengherankan lagi adalah orang yang menyangka bahwa materilah yang menciptakan sesuatu, maka ini sangat menyelisihi akal ,sebab alam tidak memiliki pengalaman sedangkan yang diciptakan memiliki pengalaman. materi tidak memiliki keinginan dan mereka memiliki keinginan. materi tidak memiliki ilmu sedangkan mereka memiliki. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa yang tidak memiliki tidak dapat memberi? Apakah mereka tidak memiliki kemampuan tidak akan dapat mencipta sesuatu? Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
"Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah." (Al Hajj: 73)
Maka sang Kholik (pencipta) haruslah sempurna mutlak dengan memiliki sifat berikut ini:
• Tidak membutuhkan yang lain
• Menjadi yang pertama tanpa ada pendahulunya, dan menjadi yang terakhir tanpa ada yang sesudahnya
• Tidak terbatas ruang lingkup waktunya
• Tidak memiliki batasan tempat
• Mampu melakukan segala sesuatu
• Mengetahui segala sesuatu, yang sudah terjadi, yang akan terjadi, yang belum terjadi, dan apa yang akan terjadi serta bagaimana semua itu terjadi
 Tiada Kata Kebetulan
Orang - orang ateis meyakini akan hukum kebetulan, masksudnya bahwa semesta ini terjadi dengan sendirinya, bukan karena ada yang menginginkan keberadaannya, tidak ada yang mengatur. Mereka berkeyakinan bahwa batu-batuan, pohon-pohonan, lautan, danau, sungai, hewan-hewan, dan manusia semuanya merupakan hasil evolusi alam. Tidak ada yang menciptakannya dan mengaturnya, serta tidak ada maksud di balik penciptaannya.
maka hikmah berdakwa kepad mereka adalah dengan mengatakan Kepada mereka : Bagaimana keteraturan yang sempurna ini dapat terjadi dengan sendirinya? Dapatkah semua ini terjadi dengan kebetulan dan tiba-tiba tanpa ada yang menciptakan dan yang mengturnya? Dapatkah seluruhnya diterima akal? Adakah yang dapat menerangkan seluruh kebetulan ini?
Sesungguhnya contoh orang yang berpendirian bahwasanya nidzom (aturan), dan penciptaan alam semesta yang sangat sempurna tercipta dengan cara kebetulan tanpa ada yang menciptakannya, seperti orang yang meletakkan huruf hija’iyah secara terpisah : ا,ب,ت ........ dsb, didalam kotak kemudian ia menggerakkan kotak tersebut dengan penuh semangat dan berharap huruf-huruf tadi bisa bersatu dengan sendirinya, maka tersusunlah darinya syair yang rapi, atau kitab yang yang tipis dan dengan ukuran yang kecil. Bukankah itu sesuatu yang mengurangi kecerdasan akal?! Sesungguhnya walaupun pekerjaan itu akan selalu dilakukan seperti yang dicontohkan tadi setiap tahun sampai tua sekalipun ia tidak akan bersatu kecuali akan seperti huruf-huruf yang terpisah seperti semula.
Langit berjalan sesuai dengan porosnya, bulan beredar mengelilingi bumi, satelit-satelit berputa sesuai dengan jalur edarnya, siklus air menguap dan menjadi hujan. Manusia lahir menjadi anak, dewasa, dan mati, serta seluruh keteraturan lainnya dapatkah dikatakan hanya sebuah kebetulan?
Seperti seseorang yang berjalan di jalan raya dengan berjalan kaki, naik motor, mengendarai mobil tanpa ada lampu lalu lintas yang mengaturnya. Dapatkah semua berjalan tanpa terjadi tabrakan atau kekacauan? Tentu saja jawabannya adalah tidak!
Apabila ada seseorang yang membenarkan pernyataan "kebetulan" maka dia pastilah orang yang tidak sehat akalnya. Sebab tidak mungkin mereka yang berakal mengatakan hal tersebut. Allah berfirman:
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ
"Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata." (Ibrohim: 10)
Ayat di atas merupakan dalil qoth'I (pasti) tentang adanya Sang Pencipta segala sesuatu. Tiada kata kebetulan dalam keteraturan alami ini.
 Diskusi dengan Bijaksana
Hikmah dari berdakwah kepada orang-orang atheis dan orang-orang yang berpahamkan materealisme yaitu saling bertukar pandangan akal yang bijak untuk menjelaskan kepada mereka suatu kebenaran. Menjadikan mereka berserah diri dan mengakui tentang keesaan Allah , bahwasanya itu adalah suatu kebenaran, dan apa-apa yang menyeru kepada selain-Nya adalah batil.
Dari pandangan-pandangan yang dapat digunakan kaum muslimin untuk membantah orang-orang atheis adalah sebagaimana yang disebutkan tentang Abu Hanifah :
Imam Abu Hanifah pernah bercerita : Ada seorang ilmuwan besar, Atheis dari kalangan bangsa Rom, tapi ia orang kafir. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali seorang, yaitu Hammad guru Abu Hanifah, oleh kerana itu dia segan bila bertemu dengannya. Pada suatu hari, manusia berkumpul di masjid, orang kafir itu naik mimbar dan mau mengadakan tukar fikiran dengan siapa saja, dia hendak menyerang ulama-ulama Islam. Di antara shaf masjid berdirilah seorang laki-laki muda, dialah Abu Hanifah dan ketika sudah berada dekat depan mimbar, dia berkata: "Inilah saya, hendak tukar fikiran dengan tuan". Mata Abu Hanifah berusaha untuk menguasai suasana, namun dia tetap merendahkan diri kerana usia mudanya. Namun dia pun angkat berkata: "Katakan pendapat tuan!". Ilmuwan kafir itu heran akan keberanian Abu Hanifah, lalu bertanya: Atheis : Pada tahun berapakah Rabbmu dilahirkan? Abu Hanifah : Allah berfirman: "Dia (Allah) tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan" Atheis : Masuk akalkah bila dikatakan bahwa Allah ada pertama yang tiada apa-apa sebelum-Nya?, Pada tahun berapa Dia ada? Abu Hanifah : Dia berada sebelum adanya sesuatu. Atheis : Kami mohon diberikan contoh yang lebih jelas dari kenyataan! Abu Hanifah : Tahukah tuan tentang perhitungan? Atheis : Ya. Abu Hanifah : Angka berapa sebelum angka satu? Atheis : Tidak ada angka (nol). Abu Hanifah : Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang mendahuluinya, kenapa tuan heran kalau sebelum Allah Yang Maha satu yang hakiki tidak ada yang mendahului-Nya? Atheis : Dimanakah Rabbmu berada sekarang?, sesuatu yang ada pasti ada tempatnya. Abu Hanifah : Tahukah tuan bagaimana bentuk susu?, apakah di dalam susu itu keju? Atheis : Ya, sudah tentu. Abu Hanifah : Tolong perlihatkan kepadaku di mana, di bagian mana tempatnya keju itu sekarang? Atheis : Tak ada tempat yang khusus. Keju itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu diseluruh bagian. Abu Hanifah : Kalau keju makhluk itu tidak ada tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak tuan meminta kepadaku untuk menetapkan tempat Allah Ta'ala?, Dia tidak bertempat dan tidak ditempatkan! Atheis : Tunjukkan kepada kami zat Rabbmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau benda cair seperti air, atau menguap seperti gas? Abu Hanifah : Pernahkan tuan mendampingi orang sakit yang akan meninggal? Atheis : Ya, pernah. Abu Hanifah : Bermula ia berbicara dengan tuan dan menggerak-gerakan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam tak bergerak, apa yang menimbulkan perubahan itu? Atheis : Kerana rohnya telah meninggalkan tubuhnya. Abu Hanifah : Apakah waktu keluarnya roh itu tuan masih ada disana? Atheis : Ya, masih ada. Abu Hanifah : Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya itu benda padat seperti besi, atau cair seperti air atau menguap seperti gas? Atheis : Entahlah, kami tidak tahu. Abu Hanifah : Kalau tuan tidak boleh mengetahui bagaimana zat manapun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk, bagaimana tuan boleh memaksaku untuk mengutarakan zat Allah Ta'ala?!! Atheis : Ke arah manakah Allah sekarang menghadapkan wajahnya? Sebab segala sesuatu pasti mempunyai arah? Abu Hanifah : Jika tuan menyalakan lampu di dalam gelap malam, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap? Atheis : Sinarnya menghadap ke seluruh arah dan penjuru. Abu Hanifah : Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma buatan itu, bagaimana dengan Allah Ta'ala Pencipta langit dan bumi, sebab Dia nur cahaya langit dan bumi. Atheis : Kalau ada orang masuk ke syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di surga kekal selamanya? Abu Hanifah : Perhitungan angka pun ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya. Atheis : Bagaimana kita boleh makan dan minum di surga tanpa buang air kecil dan besar? Abu Hanifah : Tuan sudah mempraktekkanya ketika tuan ada di perut ibu tuan. Hidup dan makan minum selama sembilan bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita melakukan dua hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia. Atheis : Bagaimana kebaikan surga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dinafkahkan? Abu Hanifah : Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan (disebarkan) ilmu kita semakin berkembang (bertambah) dan tidak berkurang. "Ya! kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, apa yang sedang Allah kerjakan sekarang?" tanyak Atheis. "Tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan, saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di tempat tuan", pinta Abu Hanifah. Ilmuwan kafir itu turun dari mimbarnya, dan Abu Hanifah naik di atas. "Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan. Tuan bertanya apa pekerjaan Allah sekarang?". Ilmuwan kafir mengangguk. "Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan. Pekerjaan-Nya sekarang ialah bahwa apabila di atas mimbar sedang berdiri seorang kafir yang tidak hak seperti tuan, Dia akan menurunkannya seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mukmin di lantai yang berhak, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar, demikian pekerjaan Allah setiap waktu". Para hadirin puas dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Hanifah dan begitu pula dengan orang kafir itu.
Setelah orang ateis ini terkalahkan dalam diskusi dan tukar pikiran, dia pulang dengan membawa kehinaan. Bahkan ada yang mengatakan bahwasanya ia kembali kepada kebenaran dan mereka masuk islam dihadapannya.
 Hukum Klausal (Sebab-Akibat)
Kesungguhnya kondisi dan akal yang sehat menyaksikan bahwasanya semenjak manusia membuka kedua matanya tidak menyaksikan suatu kejadian yang tidak ada sebabnya atau sesuatu didapatkan tanpa adanya yang menciptakannya, sampai makna ini menjadi hukum alam yang menyebabkan akal tidak bisa menyelisihinya dan tidak bisa untuk tidak mengakuinya kecuali akalnya sudah hilang, sakit atau akalnya itu pendek sebagaimana akalnya anak kecil, yang ketika melihat suatu bejana yang pecah, ia berkata; Bahwasanya ia pecah dengan sendirinya.
Oleh karena itu, seorang arab yang mengetahui dasar ini, ketika ditanya; apa dalilnya kalau Robb itu ada? Maka ia berkata; Subhana Allah, bahwasanya suatu jejak menunjukan adanya orang yang berjalan, langit memiliki benteng, bumi mempunyai jalan yang luas, malam sebagai pelayan dan siang yang berjalan. Ketahuilah bahwasanya itu menunjukan atas adanya zat yang maha lembut dan maha mengetahui.
Maka, setiap makhluk haruslah mempunyai penciptanya, setiap jejak haruslah adanya peninggal jejak, setiap kejadian haruslah adanya yang melakukannya. Ini semua adalah sebagai perumpamaan yang komprehensif.
Atas dasar qoidah ini, maka alam kita ini, semenjak dari langit dan bumi, manusia dan hewan, siang dan malam, matahari dan bulan, haruslah mempunyai zat yang menciptakannya. Kemudian, alam ini tidak kekal kecuali zat yang menjaganya, sebagaimana ia tidak terjadi kecuali adanya zat yang menjadikannya, dan itu semuanya tidak ada yang mampu kecuali Allah  , zat yang maha Esa lagi maha Kuasa.
 Ciptaan Menunjukkan Sebagian Sifat Sang Pencipta
Kaidah ini juga dapat digunakan untuk membantah orang-orang atheis. Yakni ciptaan menunjukkan sebagian sifat sang pencipta. Sebab segala sesuatu yang terdapat dalam ciptaan menunjukkan kemampuan, ilmu, serta pengetahuan serta hikmah Sang Pencipta. Dari sini kita mengetahui bahwa berfikir tentang ciptaan menunjukkan sebagian sifat Sang Pencipta.
Apabila mereka tetap mengingkarinya maka kita katakana kepada dia: "Perhatikan dalam penciptaanmu, lihatlah awal penciptaanmu ketika masih berupa air mani kemudian segumpal darah dan menjadi segumpal daging kemudian ada tulang dan daging yang melapisinya hingga menjadi manusia yang sempurna anggota badannya baik yang dhohir (organ luar) dan batin (organ dalam)".
Tidak diragukan seorang yang berakal dan jujur apabila memikirkan hal itu tentu akan menghantarkannya pada pengakuan terhadap kebesaran sang pencipta dan kekuasan-Nya serta hikmah-Nya. Salah satu ayat yang menunjukkan akan dalil aqli yang secara akal sehat pasti akan mengakui akan Rabbnya adalah firman Allah dalam surat al-Mukminun:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ(12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ(13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ(14)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”

Dakwah Kepada Atheis (1)

Berbicara dakwah maka tidak dapat terlepas dari dai yang menyampaikan dakwah tersebut. Dalam berdakwah, dai bijak haruslah mempelajari serta mengetahui keadaan masyarakat dari segala sisi. Keyakinan, ekonomi, finansial, pendidikan serta strata yang berlaku dalam masyarakat.
Sehingga ketika dalam berdakwah ia pun dapat menempatkan mereka sesuai dengan kondisi sosial mereka. Selain itu dai dapat menyeru mereka sesuai dengan kemampuan akal mereka serta menempatkan fasilitas sarana dan prasarana yang tepat sehingga dapat menunjang keberhasilan dakwahnya. Oleh karenanya Ali bin Abi Tholib berkata:
حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ, أَتُحِبُّوْنَ أَنْ يُكَذِّبَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
"Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Apakah kalian ingin Allah dan rasul-Nya didustakan?"
Ali bin Abi Tholib memperingatkan para dai agar menyeru manusia sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Sebab apabila akal mereka tidak dapat memahami apa yang disampaikan, maka akan menjadi bumerang bagi dai tersebut. Yakni mereka akan menolak dakwah tersebut. Bukan karena ingin mendustakan Allah dan rasul-Nya, namun karena akal mereka tidak dapat mencernanya.
Pada kesempatan yang lain Abdullah bin Mas'ud juga menasehatkan hal yang senada. Dia berkata:
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيْثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُوْلهًَُمُ ْإِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةٌ
"Tidaklah kalian berbicara kepada suatu kaum yang mana akal mereka tidak dapat mencernanya kecuali pasti terjadi fitnah di antara mereka."
Dan juga Rasulullah  ketika mengutus Mu'adz ke Yaman sebagai dai, qodhi, dan mu'allim di sana beliau bersabda:
إِنَّكَ تَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ
"Sesungguhnya engkau akan mendatangi ahlu kitab"
Rasulullah  menjelaskan kepada Mu'adz tentang keadaan orang-orang Yaman. Beliau menjelaskan bahwa mayoritas penduduknya adalah ahlu kitab. Tentu saja hal itu perlu diketahui oleh Mu'adz. Sehingga mu'adz dapat menentukan metode yang tepat dalam mendakwahi mereka. Sebab berdakwah kepada ahlu kitab berbeda dengan cara berdakwah kepada orang musyrik pada umumnya. Berbeda pula cara berdakwah kepada Atheis, Nasrani, penyembah berhala, penyembah dewa, penganut animisme dan dinamisme, serta penganut agama lainnya.
Mempelajari lingkungan tempat berdakwah merupakan perkara yang sangat penting. Seorang dai membutuhkan pengetahuan tentang keadaan mad'u (objek dakwah). Pengetahuan tersebut meliputi keyakinan, kejiwaan (psikologi), sosial, ekonomi, finansial, sumber-sumber kesesatan, serta penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat dengan pengetahuan yang baik. Selain itu, bahasa, logat, kebiasaan, serta subhat yang menyebar di masyarakat serta madzhab-madzhab merekapun perlu diketahui.
Seorang dai tidak akan berhasil dalam dakwahnya apabila tidak tepat dalam melakukan tindakan dan perkataan. Layaknya seorang dokter yang memeriksa penyakit pasiennya. Dia harus tahu penyakit pasien dan tepat dalam mendiagnosanya kemudian memberikan obat yang sesuai dengan penyakit yang diderita. Dia harus memperhatikan kebutuhan pasiennya. Apabila memerlukan pembedahan maka dilakukan operasi. Apabila membutuhkan amputasi maka haruslah dipotong anggota badannya tersebut agar penyakit yang diderita tidak menyebar dan menular ke bagian yang lain.
Inilah potret seorang yang yang mampu menentukan prioritas dalam berdakwah. Dia mampu menempatkan amalan apa yang harus dikerjakan dengan segera, apa yang dapat diakhirkan dan ditunda, serta amalan apa yang jangan dikerjakan.

Pengertian Atheis
Atheis merupakan sebutan bagi mereka yang tidak percaya adanya sang pencipta Hingga kini mereka tetap eksis di dunia ini. Padahal kita hidup di masa ketika teknologi dan informasi pesatnya. Masa ketika banyak ditemukan penemuan-penemuan yang menyingkap kebesaran sang pencipta tak terbantahkan lagi. Namun tetap mereka mengingkari adanya Sang Pengatur alam raya dan mengatakan bahwa semua ini terjadi dengan sendirinya. Kehancuran serta kematian merekapun bukan kehendak Sang Pencipta namun karena masa.
Oleh karenanya mereka tidak mengenal selain kehidupan dunia. Hidup hanya mencari kesenangan dunia. Semua hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat. Tidak ada balasan bagi mereka yang berbuat baik dan tak ada siksaan bagi yang berbuat semena-mena. Kehidupan dan kematian berjalan dengan apa adanya.
Andaikata ada seseorang yang berdiri di tepi sungai kemudian dia melihat sebongkah kayu mengalir menghampirinya dan dengan sendirinya kayu tersebut berubah bentuk menjadi perahu dapatkah hal ini dipercaya? Maka sungguh tepat sekali pepatah arab yang mengatakan "Anak onta membuktikan adanya onta (induk)". Bukankah hamparan alam semesta ini menunjukkan sang pencipta? Adakah orang yang berakal masih ragu tentang adanya sang pencipta?
Namun bukan berarti kedudukan mereka tersebut membuat kita berpaling dan meninggalkan serta tidak berdakwah kepada mereka. Hal ini tentu lebih buruk madhorotnya. Lantas siapakah yang akan mendakwahi mereka dan menyeru kepada Islam?
Kedudukan Atheis
Sebelum berdakwah kepada mereka dai perlu mengetahui kedudukan mereka dalam tinjauan syar'i. Setidaknya pengetahuan tersebut dapat menjadi landasan untuk melakukan tindakan.
1. Iblis lebih baik
Iblis adalah makhluk yang dilaknat Allah , diusir dari jannah, dan akan menjadi penghuni neraka yang kekal di dalamnya. Bukan karena iblis tidak beriman kepada sang pencipta, namun karena dia menyombongkan diri dan menolak untuk sujud kepada Adam. Dia menyatakan dirinya lebih mulia daripada Adam sehingga enggan untuk bersujud. Hal ini diceritakan Allah dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ(11) قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ(12) قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ(13)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina". (Al A'rof: 11-13)
Ayat tersebut menceritakan tentang permintaan iblis agar ditangguhkan penyiksaan terhadap dirinya. Dia menyeru "Wahai Rabbku". Di sini iblis menyebut Allah dengan Rabbku. Walaupun dia menolak bersujud kepada Adam namun dia tetap mengakui Allah sebagai Rabb. Padahal secara makna Rabb adalah Pencipta, Pemilik, Pengatur, yang mendatangkan maslahat, yang memberi rizqi.
Lantas orang-orang atheis tidak mempercayai adanya pencipta. Maka layaklah bagi kita menyebut iblis lebih baik daripada atheis –walaupun keduanya merupakan penghuni neraka-.
2. Orang musyrik masih beriman
Bukan karena tak percaya adanya sang pencipta atau karena durhaka kepada rasul-Nya . namun disebabkan dia menduakan dalam ibadah, merekapun termasuk yang akan menjadi penghuni neraka. Mereka beriman kepada Allah dan mereka mengakui Allahlah yang memberi rizqi. Hal inilah yang difirmankan Allah :
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) (المؤمنون: 86-87(
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" (Al Mu'minun: 86-87)
Imam at Thobary menafsirkan ayat ini beliau berkata: Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad  untuk bertanya kepada mereka (orang-orang musyrik): Siapakah Rabb pencipta langit tujuh dan Rabb 'Arsy yang Maha Mengetahui? Tentu mereka akan mengatakan semua itu milik Allah, dan Dialah Rabb penciptanya. Kemudian katakanlah kepada mereka: Apakah kalian tidak takut terhadap balasan-Nya atas kekufuran kalian, pendustaan kalian terhadap kabar-Nya dan kabar rasul-Nya?
Sebab kekufuran mereka adalah karena menjadikan berhala-berhala yang mereka sembah sebagai perantara kepada Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah:
أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (3) الزمر : 3
"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar." (Az Zumar: 3)
3. Fir'aun hatinya yakin
Meskipun fir'aun mengaku dirinyalah Rabb tertinggi sebagaimana difirmankan oleh Allah :
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى (النازعات :24(
(Seraya) berkata: "Akulah tuhanmu yang paling tinggi". (An Nazi'at: 24)
Namun pada hakekatnya di dalam hatinya yang dalam dia yakin. Disebabkan kesombongannyalah dia enggan mengucapkan kalimat tauhid.
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ (النمل :4(
"Dan mereka mengingkarinya karena kelaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (An Naml: 14)
Imam At Thobari menafsirkan ayat ini: "Ketika datang ayat-ayat dari Allah (tofan, belalang, kutu, katak dan darah) dia mengingkarinya dan dia mengatakan itu adalah sihir yang nyata. Padahal di dalam hatinya dia mengetahui dengan yakin bahwa semua ayat-ayat itu datang dari Allah ldisebabkan karena kedholiman dan kesombongan.
Dibalik tindakan semena-menanya, penindasannya terhadap bani Israel, pembunuhan anak laki-laki yang terlahir dari setiap rahim wanita, serta tindakan kekejian lainnya ternyata menyimpan keyakinan adanya sang pencipta.
Dari pemaparan di atas menunjukkan bahwa kedudukan atheis lebih hina daripada iblis, fir'aun, dan orang-orang musyrik sekalipun. Sebab iblis, fir'aun, dan orang-orang musyrik masih mengakui adanya sang pencipta. Sedangkan atheis mereka menolak dan tidak mempercayainya.
La tansa