Thursday, May 27, 2010

Dakwah Kepada Atheis (2)

Setelah mengetahui bagaimana kedudukan mereka, tentu dalam menyeru mereka memerlukan metode tersendiri. Dibutuhkan seni dalam berdakwah kepada mereka. Setidaknya ada beberapa metode yang dapat digunakan.
1. Dalil Fitriyah
Fitroh adalah keadaan awal manusia diciptakan. Rasulullah  bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تَنْتَجُ الْبَهِيْمَةَ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا جَدْعَاءَ؟
"Tidaklah setiap anak yang terlahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitroh. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Apakah kalian mendapatkan dia cacat?”
Hikmah berdakwah kepada mereka adalah seorang dai menggunakan dalil-dalil fitriyah. Dia menjelaskan bahwa setiap anak yang terlahir dalam bentuk apapun siap menerima agama, apabila dibiarkan begitu saja maka dia akan condong terhadap apa yang disukai. Dan setiap anak terlahir dengan mengetahui Allah  dan menetapkan-Nya sebagai Rabb yang berhak disembah. Bahkan jika seseorang dibiarkan dalam keadaan fitrahnya niscaya dia akan tetap mengakui bahwa setiap yang ada ini, semuanya pasti ada yang menciptakan.
Maksud fitroh adalah fitroh Islam dan selamat dari keyakinan-keyakinan batil serta menerima aqidah shohihah. Sesungguhnya hakekat Islam adalah berserah diri hanya kepada Allah semata.
Rasulullah  menjelaskan bahwa selamatnya hati dari cacat layaknya selamatnya badan dari aib. Sedangkan cacat merupakan perkara yang baru –dalam artian setelah dia dilahirkan-. Rasulullah  bersabda:
إِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ كُلُّهُمْ وَ إِنَّهُمْ أَتْتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وِ حَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَ أَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِيْ مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانَا
"Sesungguhnya Aku menciptakan hambaku dalam keadaan lurus. Kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan dari agama mereka. (Setan tersebut) mengharamkan apa yang telah Aku halalkan bagi mereka dan memerintahkan untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ku beri kekuasaan."
Imam nawawi mensyarh hadits ini:” Manusia diciptakan dalam keadaan fitroh yakni muslim. Ada yang mengatakan mereka suci dari maksiat. Pendapat lain bahwa mereka lurus dan mau menerima hidayah. Namun syaithon menggelincirkan mereka dan menghalangi mereka dari agama mereka.
Ibnu Taimiyah memberikan permisalan dalam masalah fitrah dengan mengatakan: "Permisalan fitroh dengan kebenaran seperti mata dengan matahari. Maka setiap yang memiliki mata, apabila tidak dihalangi dengan hijab tentu dapat melihat matahari. Sedangkan keyakinan batil seperti yahudi, nasrani, dan majusi seperti hijab (penghalang) yang menghalangi mata untuk melihat matahari. Begitu juga setiap yang memiliki panca indra yang sehat suka terhadap rasa manis. Kecuali apabila terdapat kerusakan dalam jaringannya sehingga mengubah rasa manis terasa pahit.
Bukan berarti ketika dia terlahir dalam keadaan mengenal Islam dan meyakini Islam dengan amalannya. Sebab Allah berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (An Nahl: 78)
Akan tetapi maksudnya adalah fitrohnya untuk mengetahui Islam dan mau menerima kebenaran serta menetapkan Rububiyatullah. Apabila dia tidak diajari selain Islam tentu dia akan menjadikan Islam sebagai agamanya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلَّا وَهُوَ عَلَى الْمِلَّةِ حَتَّى يُبَيِّنَ عَنْهُ لِسَانُهُ
“tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali dalam keadaan di atas millah (Islam), hingga dia mengucapkannya dengan lisannya.”
Allah telah mengabarkan bahwa dia mengeluarkan keturunan bani Adam dari tulang sulbi mereka dalam keadaan sebagai saksi terhadap diri mereka bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Al A'rof: 172)
Sebagai bukti dari ini semua adalah seseorang yang mempunyai akal sehat tentunya dia sangat membutuhkan kepada sang Pencipta dalam hal keberlangsungan hidupnya. Mereka sangat membutuhkan kepada Penciptanya dalam hal rizkinya, dalam hal menghilangkan dari mara bahaya yang akan menimpanya. Contohnya saja ketika seseorang ditimpa akan bahaya, pasti dia menyerahkan semuanya hanya kepada Allah, karena mereka yakin bahwa bahaya itu tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi ada yang mendatangkannya dan pasti ada juga yang menghilangkannya, yaitu Allah  yang Maha Menciptakan, yang Maha Hidup, Mengetahui segala sesuatu dan yang berkuasa untuk mengatur segalanya.
Dengan demikian jika seseorang itu lalai terhadap fitrah ini ketika dalam keadaan senang akan tetapi pasti dia tetap akan meminta perlindungan kepada Allah ketika dalam keadaan bahaya, karena mereka juga mengeahui secara fitrah bahwa Allah lah yang dapat menghilangkan mara bahaya, dan tidak ada tempat bergantung dan meminta pertolongan kecuali hanya kepada Allah saja. Karena pada dasarnya setiap makhluk diciptakan dalam tabiat yang mengakui terhadap rububiyyah Allah dan wahdaniyyah-Nya.

2. Dengan Dalil-Dalil aqliyah
Apabila orang-orang atheis, komunis, dan yang lainnya mengingkari wujud Allah  maka metode dakwah kepada mereka dapat menggunakan metode dalil-dalil aqliyah sebagai berikut:
a. Pembagian Akal Dengan Bijaksana
b. Yang Tidak Ada Tak Dapat Mencipta
c. Sesuatu Yang Tidak Mempunyai Tidak Memberi
d. Tiada Kata Kebetulan
e. Berdebat dengan mereka
f. Hukum Klausal (Sebab-Akibat)
g. Ciptaan Menunjukkan Sebagian Sifat Sang Pencipta

 Pembagian Akal Dengan Bijaksana
Bisa di tarik kesimpulan bahwa setiap orang yang mengingkari keberadaan Allah  dan Rububiyah-Nya terhadap perkara-perkara yang dia akui atau kalau tidak begitu berarti dia dalam keadaan gila, maka hendaknya disampaikan kepada mereka akan suatu perkara yang hanya bisa dibagi tiga dan tidak ada yang keempatnya:
Pertama: sesungguhnya setiap mahluk ini ada dengan sendirinya secara tiba-tiba, tidak ada yang menciptakannya. Maka hal ini adalah perkara yang sangat mustahil dan setiap akal akan menolak pernyataan ini. siapa yang berperasangka seperti itu maka dia adalah orang yang akalnya gila, dikarenakan setiap yang berakal akan mengetahui bahwa suatu benda itu tidak akan ada kalau tidak ada yang menciptakan, maka setiap barang yang ada itu harus ada yang menciptakan, hal ini tidak bisa diinkari.
Kedua: setiap makhluk itu ada karena dia sendiri yang menciptakan diri mereka, hal ini juga sangat mustahil, tidak bisa diterima oleh akal sehat, karena setiap orang yang berakal itu pasti meyakini bahwa makhluk itu tidak bisa menciptakan diri mereka dengan sendirinya, karena sebelum benda itu ada, dia tidak berbentuk apa-apa , maka bagaimana dia bisa menciptakan diri mereka sendiri.
Maka jika dua bagian diatas tidak bisa diterima secara akal sehat dan fitrah manusia maka pasti akan menerima yang ketika:
Ketiga: semua mahluk yang ada ini baik dari golongan bawahan maupun golongan konglomerat, ini semua adalah sebuah kejadian yang pasti ada yang membikinnya, pasti ada yang menciptaka,yang mengatur dan yang mengurusi, Dialah Allah  yang menciptakan segalanya, yang mengaturnya dan yang memberi rizki kepada semuanya. Sebagaimana Allah telah berfirman:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Artinya: Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?
Sebagaimana Jubair bin Mut’im sangat terkesan ketika dia mendengar ayat ini dari Rasulallah . Dia berkata, “aku mendengar Rasulallah  menbaca surat ath-Thur ketika sholat magrib, dan ketika sampai pada ayat:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بَل لا يُوقِنُونَ أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُسَيْطِرُونَ
Seakan-akan hatiku mau terbang”
Jadi setiap makhluk pasti ada yang menciptakan, dan perbuatan pasti ada yang mengerjakannya. Dan ini adalah keputusan final yang tidak perlu penjelasan lagi, semua akal sehat pasti mengetahui akan hal ini , maka barang siapa yang ragu dalam permasalahan ini maka sangat jelas akan kesesatannya
 Yang Tidak Ada Tak Dapat Menciptakan
Kaidah aqliyah yang selayaknya digunakan oleh dai adalah “Yang tidak ada tidak dapat menciptakan”. Maka sesuatu ang tidak ada wujudnya tidak dapat mencipta sesuatu apapun karena tiada ada wujudnya.
Apabila seseorang yang berakal memperhatikan makhluk-makhluk yang melahirkan dari kalangan manusia, hewan yang beranak, angin bertiup, hujan turun, gemuruh suara halilintar, pergantian malam dan siang, peredaran matahari, bulan, bintang yang begitu teraturnya. Apabila dia memperhatikan ini semua tentu akalnya akan berkata bahwa ini semua bukan ciptaan dari yang tidak ada. Namun ini diciptakan oleh sang pencipta dari yang maujud (yang ada).
 Sesuatu Yang Tidak Mempunyai Tidak Memberi
Merupakan hal maklum (yang telah diketahui) bahwa yang tidak memiliki harta tidak akan dimintai sesuatu. Orang yang bodoh tidak akan bisa memberikan ilmu. Sebab yang tidak mempunyai sesuatu tidak akan memberi.
Apabila mereka menyangka bahwa materi inilah yang menciptakan, sungguh menyelisihi akal dan kebenaran. Sebab alam ini menyaksikan bahwa penciptanya adalah yang maha bijaksana, maha mengetahui, yang memberi rizki. Sedangkan materi adalah tidak memiliki sesuatupun.
Yang sangat mengherankan lagi adalah orang yang menyangka bahwa materilah yang menciptakan sesuatu, maka ini sangat menyelisihi akal ,sebab alam tidak memiliki pengalaman sedangkan yang diciptakan memiliki pengalaman. materi tidak memiliki keinginan dan mereka memiliki keinginan. materi tidak memiliki ilmu sedangkan mereka memiliki. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa yang tidak memiliki tidak dapat memberi? Apakah mereka tidak memiliki kemampuan tidak akan dapat mencipta sesuatu? Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
"Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah." (Al Hajj: 73)
Maka sang Kholik (pencipta) haruslah sempurna mutlak dengan memiliki sifat berikut ini:
• Tidak membutuhkan yang lain
• Menjadi yang pertama tanpa ada pendahulunya, dan menjadi yang terakhir tanpa ada yang sesudahnya
• Tidak terbatas ruang lingkup waktunya
• Tidak memiliki batasan tempat
• Mampu melakukan segala sesuatu
• Mengetahui segala sesuatu, yang sudah terjadi, yang akan terjadi, yang belum terjadi, dan apa yang akan terjadi serta bagaimana semua itu terjadi
 Tiada Kata Kebetulan
Orang - orang ateis meyakini akan hukum kebetulan, masksudnya bahwa semesta ini terjadi dengan sendirinya, bukan karena ada yang menginginkan keberadaannya, tidak ada yang mengatur. Mereka berkeyakinan bahwa batu-batuan, pohon-pohonan, lautan, danau, sungai, hewan-hewan, dan manusia semuanya merupakan hasil evolusi alam. Tidak ada yang menciptakannya dan mengaturnya, serta tidak ada maksud di balik penciptaannya.
maka hikmah berdakwa kepad mereka adalah dengan mengatakan Kepada mereka : Bagaimana keteraturan yang sempurna ini dapat terjadi dengan sendirinya? Dapatkah semua ini terjadi dengan kebetulan dan tiba-tiba tanpa ada yang menciptakan dan yang mengturnya? Dapatkah seluruhnya diterima akal? Adakah yang dapat menerangkan seluruh kebetulan ini?
Sesungguhnya contoh orang yang berpendirian bahwasanya nidzom (aturan), dan penciptaan alam semesta yang sangat sempurna tercipta dengan cara kebetulan tanpa ada yang menciptakannya, seperti orang yang meletakkan huruf hija’iyah secara terpisah : ا,ب,ت ........ dsb, didalam kotak kemudian ia menggerakkan kotak tersebut dengan penuh semangat dan berharap huruf-huruf tadi bisa bersatu dengan sendirinya, maka tersusunlah darinya syair yang rapi, atau kitab yang yang tipis dan dengan ukuran yang kecil. Bukankah itu sesuatu yang mengurangi kecerdasan akal?! Sesungguhnya walaupun pekerjaan itu akan selalu dilakukan seperti yang dicontohkan tadi setiap tahun sampai tua sekalipun ia tidak akan bersatu kecuali akan seperti huruf-huruf yang terpisah seperti semula.
Langit berjalan sesuai dengan porosnya, bulan beredar mengelilingi bumi, satelit-satelit berputa sesuai dengan jalur edarnya, siklus air menguap dan menjadi hujan. Manusia lahir menjadi anak, dewasa, dan mati, serta seluruh keteraturan lainnya dapatkah dikatakan hanya sebuah kebetulan?
Seperti seseorang yang berjalan di jalan raya dengan berjalan kaki, naik motor, mengendarai mobil tanpa ada lampu lalu lintas yang mengaturnya. Dapatkah semua berjalan tanpa terjadi tabrakan atau kekacauan? Tentu saja jawabannya adalah tidak!
Apabila ada seseorang yang membenarkan pernyataan "kebetulan" maka dia pastilah orang yang tidak sehat akalnya. Sebab tidak mungkin mereka yang berakal mengatakan hal tersebut. Allah berfirman:
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ
"Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata." (Ibrohim: 10)
Ayat di atas merupakan dalil qoth'I (pasti) tentang adanya Sang Pencipta segala sesuatu. Tiada kata kebetulan dalam keteraturan alami ini.
 Diskusi dengan Bijaksana
Hikmah dari berdakwah kepada orang-orang atheis dan orang-orang yang berpahamkan materealisme yaitu saling bertukar pandangan akal yang bijak untuk menjelaskan kepada mereka suatu kebenaran. Menjadikan mereka berserah diri dan mengakui tentang keesaan Allah , bahwasanya itu adalah suatu kebenaran, dan apa-apa yang menyeru kepada selain-Nya adalah batil.
Dari pandangan-pandangan yang dapat digunakan kaum muslimin untuk membantah orang-orang atheis adalah sebagaimana yang disebutkan tentang Abu Hanifah :
Imam Abu Hanifah pernah bercerita : Ada seorang ilmuwan besar, Atheis dari kalangan bangsa Rom, tapi ia orang kafir. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali seorang, yaitu Hammad guru Abu Hanifah, oleh kerana itu dia segan bila bertemu dengannya. Pada suatu hari, manusia berkumpul di masjid, orang kafir itu naik mimbar dan mau mengadakan tukar fikiran dengan siapa saja, dia hendak menyerang ulama-ulama Islam. Di antara shaf masjid berdirilah seorang laki-laki muda, dialah Abu Hanifah dan ketika sudah berada dekat depan mimbar, dia berkata: "Inilah saya, hendak tukar fikiran dengan tuan". Mata Abu Hanifah berusaha untuk menguasai suasana, namun dia tetap merendahkan diri kerana usia mudanya. Namun dia pun angkat berkata: "Katakan pendapat tuan!". Ilmuwan kafir itu heran akan keberanian Abu Hanifah, lalu bertanya: Atheis : Pada tahun berapakah Rabbmu dilahirkan? Abu Hanifah : Allah berfirman: "Dia (Allah) tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan" Atheis : Masuk akalkah bila dikatakan bahwa Allah ada pertama yang tiada apa-apa sebelum-Nya?, Pada tahun berapa Dia ada? Abu Hanifah : Dia berada sebelum adanya sesuatu. Atheis : Kami mohon diberikan contoh yang lebih jelas dari kenyataan! Abu Hanifah : Tahukah tuan tentang perhitungan? Atheis : Ya. Abu Hanifah : Angka berapa sebelum angka satu? Atheis : Tidak ada angka (nol). Abu Hanifah : Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang mendahuluinya, kenapa tuan heran kalau sebelum Allah Yang Maha satu yang hakiki tidak ada yang mendahului-Nya? Atheis : Dimanakah Rabbmu berada sekarang?, sesuatu yang ada pasti ada tempatnya. Abu Hanifah : Tahukah tuan bagaimana bentuk susu?, apakah di dalam susu itu keju? Atheis : Ya, sudah tentu. Abu Hanifah : Tolong perlihatkan kepadaku di mana, di bagian mana tempatnya keju itu sekarang? Atheis : Tak ada tempat yang khusus. Keju itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu diseluruh bagian. Abu Hanifah : Kalau keju makhluk itu tidak ada tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak tuan meminta kepadaku untuk menetapkan tempat Allah Ta'ala?, Dia tidak bertempat dan tidak ditempatkan! Atheis : Tunjukkan kepada kami zat Rabbmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau benda cair seperti air, atau menguap seperti gas? Abu Hanifah : Pernahkan tuan mendampingi orang sakit yang akan meninggal? Atheis : Ya, pernah. Abu Hanifah : Bermula ia berbicara dengan tuan dan menggerak-gerakan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam tak bergerak, apa yang menimbulkan perubahan itu? Atheis : Kerana rohnya telah meninggalkan tubuhnya. Abu Hanifah : Apakah waktu keluarnya roh itu tuan masih ada disana? Atheis : Ya, masih ada. Abu Hanifah : Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya itu benda padat seperti besi, atau cair seperti air atau menguap seperti gas? Atheis : Entahlah, kami tidak tahu. Abu Hanifah : Kalau tuan tidak boleh mengetahui bagaimana zat manapun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk, bagaimana tuan boleh memaksaku untuk mengutarakan zat Allah Ta'ala?!! Atheis : Ke arah manakah Allah sekarang menghadapkan wajahnya? Sebab segala sesuatu pasti mempunyai arah? Abu Hanifah : Jika tuan menyalakan lampu di dalam gelap malam, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap? Atheis : Sinarnya menghadap ke seluruh arah dan penjuru. Abu Hanifah : Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma buatan itu, bagaimana dengan Allah Ta'ala Pencipta langit dan bumi, sebab Dia nur cahaya langit dan bumi. Atheis : Kalau ada orang masuk ke syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di surga kekal selamanya? Abu Hanifah : Perhitungan angka pun ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya. Atheis : Bagaimana kita boleh makan dan minum di surga tanpa buang air kecil dan besar? Abu Hanifah : Tuan sudah mempraktekkanya ketika tuan ada di perut ibu tuan. Hidup dan makan minum selama sembilan bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita melakukan dua hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia. Atheis : Bagaimana kebaikan surga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dinafkahkan? Abu Hanifah : Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan (disebarkan) ilmu kita semakin berkembang (bertambah) dan tidak berkurang. "Ya! kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, apa yang sedang Allah kerjakan sekarang?" tanyak Atheis. "Tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan, saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di tempat tuan", pinta Abu Hanifah. Ilmuwan kafir itu turun dari mimbarnya, dan Abu Hanifah naik di atas. "Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan. Tuan bertanya apa pekerjaan Allah sekarang?". Ilmuwan kafir mengangguk. "Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan. Pekerjaan-Nya sekarang ialah bahwa apabila di atas mimbar sedang berdiri seorang kafir yang tidak hak seperti tuan, Dia akan menurunkannya seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mukmin di lantai yang berhak, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar, demikian pekerjaan Allah setiap waktu". Para hadirin puas dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Hanifah dan begitu pula dengan orang kafir itu.
Setelah orang ateis ini terkalahkan dalam diskusi dan tukar pikiran, dia pulang dengan membawa kehinaan. Bahkan ada yang mengatakan bahwasanya ia kembali kepada kebenaran dan mereka masuk islam dihadapannya.
 Hukum Klausal (Sebab-Akibat)
Kesungguhnya kondisi dan akal yang sehat menyaksikan bahwasanya semenjak manusia membuka kedua matanya tidak menyaksikan suatu kejadian yang tidak ada sebabnya atau sesuatu didapatkan tanpa adanya yang menciptakannya, sampai makna ini menjadi hukum alam yang menyebabkan akal tidak bisa menyelisihinya dan tidak bisa untuk tidak mengakuinya kecuali akalnya sudah hilang, sakit atau akalnya itu pendek sebagaimana akalnya anak kecil, yang ketika melihat suatu bejana yang pecah, ia berkata; Bahwasanya ia pecah dengan sendirinya.
Oleh karena itu, seorang arab yang mengetahui dasar ini, ketika ditanya; apa dalilnya kalau Robb itu ada? Maka ia berkata; Subhana Allah, bahwasanya suatu jejak menunjukan adanya orang yang berjalan, langit memiliki benteng, bumi mempunyai jalan yang luas, malam sebagai pelayan dan siang yang berjalan. Ketahuilah bahwasanya itu menunjukan atas adanya zat yang maha lembut dan maha mengetahui.
Maka, setiap makhluk haruslah mempunyai penciptanya, setiap jejak haruslah adanya peninggal jejak, setiap kejadian haruslah adanya yang melakukannya. Ini semua adalah sebagai perumpamaan yang komprehensif.
Atas dasar qoidah ini, maka alam kita ini, semenjak dari langit dan bumi, manusia dan hewan, siang dan malam, matahari dan bulan, haruslah mempunyai zat yang menciptakannya. Kemudian, alam ini tidak kekal kecuali zat yang menjaganya, sebagaimana ia tidak terjadi kecuali adanya zat yang menjadikannya, dan itu semuanya tidak ada yang mampu kecuali Allah  , zat yang maha Esa lagi maha Kuasa.
 Ciptaan Menunjukkan Sebagian Sifat Sang Pencipta
Kaidah ini juga dapat digunakan untuk membantah orang-orang atheis. Yakni ciptaan menunjukkan sebagian sifat sang pencipta. Sebab segala sesuatu yang terdapat dalam ciptaan menunjukkan kemampuan, ilmu, serta pengetahuan serta hikmah Sang Pencipta. Dari sini kita mengetahui bahwa berfikir tentang ciptaan menunjukkan sebagian sifat Sang Pencipta.
Apabila mereka tetap mengingkarinya maka kita katakana kepada dia: "Perhatikan dalam penciptaanmu, lihatlah awal penciptaanmu ketika masih berupa air mani kemudian segumpal darah dan menjadi segumpal daging kemudian ada tulang dan daging yang melapisinya hingga menjadi manusia yang sempurna anggota badannya baik yang dhohir (organ luar) dan batin (organ dalam)".
Tidak diragukan seorang yang berakal dan jujur apabila memikirkan hal itu tentu akan menghantarkannya pada pengakuan terhadap kebesaran sang pencipta dan kekuasan-Nya serta hikmah-Nya. Salah satu ayat yang menunjukkan akan dalil aqli yang secara akal sehat pasti akan mengakui akan Rabbnya adalah firman Allah dalam surat al-Mukminun:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ(12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ(13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ(14)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”

1 comment:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    ReplyDelete

La tansa